Selasa, 29 Desember 2015

Merayakan Persaudaraan Ambon di Rumah Kopi Sibu-Sibu


Ini malam minggu. Malam terakhir saya berada di pulau ambon. Banyak orang bilang, ketika berada di sini, saya wajib mampir ke Walang Kopi Sibu-Sibu. Baru malam inilah, saran itu saya tunaikan.

Sebuah ruang terbuka seluas sekitar 10 x 15 meter persegi saya masuki. Padat sekali. Celah antar meja sempit. Pantas saja kedai ini bernama walang kopi. Walang dalam bahasa setempat berarti rumah kecil. Di sana, rupanya yang hadir tak hanya orang maluku. Beberapa wajah eropa tak sedikit juga terlihat. Sebuah meja kecil berkursi dua saya tuju dan duduki. Tak ada yang menghampiri, kasir pun saya datangi. Seorang perempuan meminta saya duduk dan membawa daftar menu. Saya turuti seraya memilih makanan dan minuman di kursi tadi. Angin yang bertiup dari kipas, bertubi-tubi menimpa dari atas. Ini baru sibu-sibu, sepoi-sepoi.
PAndangan saya melingkar. Dari sisi kiri, bagian depan, ke dinding kanan. Ketiga muka di dalam kedai penuh dengan bingkai. Di dalamnya sejumlah wajah memamerkan senyum. Dari penyanyi BelAnda Monica Akihary (saya menoton konsernya di Bogor 6 tahun lalu), Sharita Sopacua si Miss Netherland Universe 2005 (senyum simetrisnya tak bosan saya pelototi), pemusik di grup Vengaboys: Donny Latupeirissa (saya baru tahu ada personilnya yang orang ambon), hingga nama-nama yang saya yakin Anda sudah sering dengar, macam Daniel Sahuleka, Jopie Lattul, Broery Pesolima, Bob Tutupoli, Ronny Patinasarani, Ray Sahetapy. Nama-nama tersebut, saya comot secara acak sekadar sebagai contoh. Menyaksikan wajah dan nama-nama itu, kesan saya tentang orang ambon semakin kuat: dorang memang basudara (mereka betul-betul bersaudara).

Perhatian saya kemudian tertuju ke kerumunan yang semakin menyemut di hadapan meja. Nyanyian yang beriring organ tunggal semakin lantang didendangkan. Mulanya tiga orang, lalu bertambah satu. Seorang lain menghampiri. Makin ramailah suasana malam itu. Bahkan tak hanya dari pojong ruangan yang disulap jadi panggung kecil itu, tapi juga dari seberangnya. Ajaibnya, pengunjung berperawakan orang eropa pun turut menyanyikan lagu khas ambon itu.

Gandong, demikian si lagu bernama. Liriknya berisi pesan persaudaraan. Gandong berarti saudara. Kedekatan atas asal usul ikatan darah. Orang ambon sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat mereka. Bahkan struktur pemerintahan setara desa, terorganisasi dalam suatu susunan bernama negeri, yang dipimpin seorang Bapa Raja. Selain adat dalam tata masyarakat, aturan bertingkah laku juga dijaga dengan baik oleh para nyong ambon. Rumpun masyarakat yang terikat dalam satu gandong, tidak bisa menyatukan diri. Ibaratnya, dua negeri memiliki pela gandong masing-masing, artinya saling bersaudara. Contoh, Batumerah yang berpela gandong dengan Passo. Saking rekatnya, penduduk dari kedua negeri tersebut tidak bisa menikah, karena dianggap satu saudara. Pela gandong, di sisi lain juga membuat suasana panas di ambon dan maluku, kian menghangat. Kala mengingat pela gandong, kedua negeri yang mayoritas warganya saling berlainan agama, menjadi rukun. Semangat kerukunan dan persaudaraan itulah, yang saya saksikan dalam lagu gandong.

Usai gandong tandas dinyanyikan, seorang pengunjung lain bergantian jadi juru vokal. Ia menyanyikan lagu Piring Tatoki. Judul itu bermakna piring yang saling berdenting. Itu makna kiasan untuk sebuah konflik antar dua kelompok. Bila kedua bersaudara bertengkar, itu bagaikan piring yang saling menyinggung. Lagi-lagi, udara di dalam sibu-sibu dipadati semangat persaudaraan dari lagu-lagu tadi. Bahkan kini lebih meriah. Seorang pengunjung bule menari dipandu penyanyi kedai. Keluarga atau mungkin kawan-kawannya teriak menyemangati. Meriah sekali. "Mantaaaap!" seseorang di samping saya berseru. Seorang kulit putih, lirih saya menyadari. Saya takjub dengan pelafalannya yang fasih. Tapi saya tidak heran, karena memang tak sedikit orang ambon yang juga tinggal dan meneruskan jalan hidup di daratan eropa sana, di negeri kincir angin Belnda.


Pikiran saya melayang hingga tahun 1500an, ketika pengelana dari eropa pertama kali tiba di kepulauan Maluku. Mereka kemudian sempat menduduki nusantara dengan misi kolonialisasi. Singkat cerita, Indonesia kemudian merdeka. Sang republik yang masih muda, dilanda berbagai eksperimentasi bentuk pemerintahan, misalnya berupa Republik Indonesia Serikat, negara besar yang terbentuk dari negara-negara bagian, salah satunya, Republik Maluku Selatan (RMS). Setelah bentuk tersebut akhirnya mewujud menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, RMS menjadi gerakan pemberontakan. Setelah ditumpas pada tahun 1952, beberapa punggawa gerakan separatis itu hijrah ke Belanda, negara yang disebut-sebut mensponsori RMS untuk kepentingan penguasaan. Di antara mereka kemudian beranak-pinak di sana, seraya tak lupa bahwa dari kepulauan rempah inilah mereka berasal. Terlebih ada tradisi natal sedunia. Ya, natal memang sedunia tiap tanggal 25 Desember. Tapi bagi orang-orang dari negeri adat di pulau ambon, natal sedunia ini berarti bahwa semua perantau di seluruh dunia yang berasal dari suatu desa adat, bisa pulang ke tempat asal. Pesta jogetnya bisa berhari-hari. Duduk tepat seminggu sebelum natal, saya makin tak heran dengan kehadiran para perantau jauh ini.

Yang namanya kedai kopi, tentu jualan utamanya sang cairan pusaka itu. Ada banyak macam kopi yang ditulis dalam daftar menu. Saya pilih kopi rarobang. Kata rarobang yang disandang kopi itu, bermakna filtrat, atau zat (dalam hal ini cairan) yang tidak mengendap. Kata seorang pramusaji, itu kopi khas sibu-sibu. Tak ada di tempat lain. Kopi rarobang yang saya pesan dicampuri jahe, susu dan taburan rempah. Saya jadi ingat komentar seorang kawan: Beng Rahadian, komikus plus penggila kopi itu. Katanya kopi yang dicampur susu maupun krimer tidak jelas jenis kelaminnya. Kalau ditambahkan dua hal lumrah itu saja dia sudah bilang kopi menjadi androgini, apalagi ditambah banyak campuran ini. Haha. Tapi tak mengapa, justru di campuran itulah uniknya kopi di pulau ambon. Bayangkan, rasa dominan di lidah justru sensasi hangatnya di tenggorokan, yang bukan dihasilkan kopi. Lalu rasakan taburan buah palanya itu. Kalau pernah menikmati guraka di maluku utara, sensasi rasa Anda akan terlempar ke sana. Guraka sebenarnya sari jahe, tanpa kopi. Tapi memang beberapa orang sebut itu "kopi guraka". Ia nikmat disesap dengan diselingi pisang yang digoreng tipis lalu diolesi sambal dabu-dabu, sambal yang didominasi irisan cabe segar. Menu terakhir itu tak ada di kedai sibu-sibu. Sebenarnya ada pilihan menu kue-kue berbahan dasar sagu, tapi saya memesan roti yang dilapisi telur dadar sebagai pendamping kopi tadi.

Tiba-tiba ada teriakan dari arah jalan. Suara anak kecil riuh memekik. Semua orang menengok ke sumber suara. Rupanya sebuah mobil angkot dipenuhi anak-anak. Beberapa pengunjung menghambur ke jalan lalu berhenti di pintu angkot. Mereka membalas lambaian tangan anak-anak dari dalam angkot itu, seraya membalas senyum puas dari dalam sana. Anak-anak yang sebagian berkulit putih itu begitu riang melepas tawa. Si mobil sampai bergoyang-goyang naik turun. Tak lama kemudian para tetuanya turut masuk dan bergabung. Si angkot pun melenggang, dengan posisi melonjak-lonjaknya bak melaju di atas kasur. Melihat saya mengarahkan kamera video, seorang bule melambai dengan sunggingan senyum lebar.

Selepas mobil angkot ria itu melintas, beberapa kursi di dalam kedai tak lagi diduduki. "Bale bantal, bale bantal!" seseorang berteriak dari belakang saya. Satu persatu pernyanyi berganti. Sebelum Kedai Sibu-Sibu tutup pada jam 22.30, saya bayar semua pesanan malam itu. Ada lembar uang tambahan yang saya keluarkan. Itu ongkos untuk memiliki sekeping cakram padat album jazz instrumental gubahan Nicky Manuputty and The Dodz. Deretan lagu dominan saxofon itu pasti akan selalu mengingatkan ke tanah Ambon, ketika saya tak lagi di sana. []
 

Mengenal Pulau Moa dari Pantai Namalatu

Pantai Namalatu di Pulau Ambon mempertemukan saya dengan dua orang anak. Dari keduanya, terungkap kisah tentang sebuah pulau paling terpencil di Maluku.

Laguna, matahari tenggelam, debur ombak, ikan hias bergaris kuning. Itulah yang saya dapat dari Pantai Namalatu pada suatu hari. Tempat wisata itu sebenarnya tidak menyediakan fasilitas yang sempurna. Gerbang masuk ala kadarnya, dengan pos satpam yang dicat lusuh di sana-sini temboknya. Begitu masuk, seorang petugas tak berseragam menagih tiket. Cukup empat ribu rupiah per orang, tanpa bukti pembayaran. Mobil terparkir, pandangan menyeluruh ke kawasan pantai di Desa Latuhalat, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon itu pun terlihat. Sekelompok remaja menyanyi beriring gitar di tempat duduk berbahan beton yang bopeng. Tak jauh dari tempat mereka ada, toilet dan ruang ganti terlihat tak terawat. Meski hanya beberapa yang berfungsi karena pintunya rusak, dua fasilitas tadi tetap terkesan bersih. Saya dan tiga teman lainnya kemudian memilih satu tempat duduk terbaik: meja yang betonnya utuh meski ada bekas tumpahan sesuatu. Kursi beton yang menghadap ke lautan masih berbentuk meski tak berwarna lagi. Kursi beton lain yang ada di hadapannya, tergolek tak bisa dibuat berdiri. Matahari masih terik, kami menunggu setengah jam hingga ia benar-benar condong dari barat. Setelah wudu di laut dan solat di sebuah restoran yang tidak beroperasi (tidak ada musola di sana), saya baru kemudian turun ke laguna dengan kostum renang.
Laguna atau bagian pantai yang ombaknya dibendung di bagian muka adalah jantung tempat wisata ini. Banyak wisatawan bermain ombak kecil di satu bagian bibir pantai. Beberapa wisatawan asing memilih berjemur di dekat situ. Hal pertama yang menarik saya begitu seluruh tubuh basah, adalah tembok penahan ombak di muka si pantai. Banyak remaja Ambon memilih tempat itu sebagai pijakan sebelum melompat ke bagian laguna yang lebih dalam. Saya terpancing menuju mereka dan menirunya. Haha. Semua terjadi begitu spontan ketika akhirnya saya menghempaskan diri dari tembok setinggi dua meter dari permukaan air itu. Begitu melompat dari atasnya, sadarlah saya bahwa kedalaman air tidak begitu menenggelamkan. Saya masih bisa jinjit di bagian yang jadi landasan itu. Pada kesempatan berikutnya saya tak berani mengulang yang tadi. Haha. Di antara sejumlah anak berperawakan khas orang Maluku itu, ada dua orang anak bernama Ens dan Ona. Kami baru menyebut nama di akhir pertemuan, setelah selama pelesiran itu menikmati Namalatu bersama-sama.

Ens dan Ona adalah dua orang saudara. Mereka berdua berasal dari Pulau Moa, pulau di Kabupaten Maluku Barat Daya. Ia lebih dekat dengan pulau Timor. Butuh waktu berhari-hari dengan kapal laut untuk menuju Pulau Ambon ini dari sana. Di Pualu Moa masih ada hutan lebat. Ens yang berusia sekitar 8 tahun mengisahkannya kepada saya. Dia bilang, ayahnya bos perusahaan kayu, ibunya bos perusahaan kutek. Awalnya saya pikir dia anak polisi. Soalnya ketika bilang bahwa saya wartawan, dia tanya bagaimana cara melamar kerja menjadi wartawan. Ketika saya bilang dengan menyerahkan ijazah, dia malah cerita bahwa untuk jadi polisi harus pakai surat pemeriksaan. Bagaimana bisa seorang anak tukang kayu mengenal kata “surat pemeriksaan” di usianya yang begitu hijau.

Ens sebenarnya nama panggilan. Pun begitu dengan Ona kakaknya. Saya lupa nama panjang kedua anak itu. Tapi itu membuktikan sebuah fenomena: orang Maluku tidak suka orang memanggil mereka dengan nama depan yang lengkap. Itu terkesan tidak sopan. Hehe. Aneh juga. Makanya mereka menggunakan nama panggilan yang dikutip dari nama panjang. Ens adalah singkatan dari tiga nama depan si anak lelaki itu. Nama Ona pun demikian. Tapi saya ingat nama depan Ona: Linda.  

Pulau Moa yang mereka tinggali, masih dikenal kental dengan ilmu hitam. Itu kata pengemudi yang mobilnya kami sewa selama berada di Ambon. Daerahnya yang masih memiliki hutan lebat dilengkapi dengan karakter lanskap lain berupa daerah tandus berkarang. Ada juga sebuah bukit bernama gunung kerbau. Disebut demikian karena memang banyak kerbau liar di sana. Beberapa kerbau besar itu dibawa dari Moa dengan ongkos pembelian 3 juta rupiah. Mereka lalu dijual di Tana Toraja Sulawesi Selatan dengan harga yang berkali lipat untuk keperluan adat, bahkan hingga ratusan juta rupiah. Ternyata, kurang dari satu bulan, kerbau-kerbau itu mati karena habitat yang mereka tempati tidak cocok dengan daerah asalnya. Selain kerbau, yang juga bisa dijual dari Pulau Moa adalah kayu besi atau kayu ulin. Ternyata kayu yang terkenal kokoh itu tak hanya ada di Kalimantan. Per kubik kayu bahan kusen itu, di Ambon bisa dibanderol dengan harga mencapai 7 juta rupiah. Di sebuah situs penjual kayu, saya lihat harganya bisa jadi 10 juta rupiah per kubik.

Ens dan Ona tidak canggung ketika bertemu orang asing macam saya. Mereka mengajak kami menikmati Pantai Namalatu dengan berbagai cara. Dari membiarkan diri ditabrak deburan ombak yang dipecah tembok penahan, hingga berenang gaya punggung membentuk garis yang memotong laguna. Suasana cair serupa ditunjukan pula oleh anak-anak Maluku lain yang saya aja berinteraksi. Bahkan di akhir aktivitas kami, saya dilempari pasir oleh mereka yang entah siapa. Perang pasir putih halus pun tak terhindarkan. Meski tak silih mengenal, kami berkomunikasi dengan satu bahasa yang sama: bahasa tawa. []






Jumat, 25 Desember 2015

Tentang Burung Maleo dan Pantai Indah di Morowali Utara



Sore di Pantai Uewajo

Adalah sebuah hari di akhir September lalu. Sore itu langit cerah, ombak berdesir lembut. Saya ada di Kabupaten Morowali Utara, di Sulawesi Tengah. Pinggiran pantai desa Uewajo itu saya susuri, sambil berlari. Beratus meter kemudian saya melewati sebuah lapangan sepak bola. Suara dari megafon lantang terdengar. Komentator bukannya memberi nilai terhadap pertandingan, tapi mendeskripsikan kejadian di lapangan. Rupanya pertandingan itu disiarkan langsung melalui radio setempat.

Langkah saya tak berhenti melintangi garis pantai. Tiga orang anak perempuan kemudian menyapa. Mereka Putri, Sofi dan Nita, anak-anak SD yang saya kunjungi sewaktu liputan sehari sebelumnya. Di sekolah mereka, saya turut mengikuti kegiatan penyuluhan tentang pentingnya pelestarian burung maleo. Ada sebuah pantai bernama Tanjung Peo, yang sering didatangi burung endemik Sulawesi itu. Kisah tentang burung maleo yang terancam punah itu memang tujuan utama kedatangan saya dari pulau Jawa.

Tiga anak perempuan tadi mengiringi saya berlari. Bahkan sampai ujung. Hingga hamparan pasir terpotong muara sungai kecil berair bening. Saya ambil jeda, melepas sepatu dan bertanya ke tiga anak tadi. Hal standar yang saya tanyakan ketika bertemu anak-anak adalah tentang cita-cita. Putri ingin jadi polwan, Sofi mau jadi guru, dan Nita bercita-cita jadi dokter. Putri dan Sofi menjawab antusias ketika saya pancing perbincangan tentang ibu kota negara kita. Nita masih terlalu pemalu untuk bicara blak-blakan ke orang asing. Berbeda dengan anak berkerudung itu, Putri dan Sofi bahkan tak canggung minta diantar pulang dengan mobil liputan yang kami pakai tadi siang.

Obrolan kami terpotong ketika dua orang anak yang lebih kecil menghampiri. Mereka Fatur dan Dita. Keduanya tertegun menatap sungai, lalu membuka alas kaki dan melinting baju. Permukaan air mulai pasang. Saya yakin ketika mereka menyeberang beberapa waktu sebelumnya, tinggi air tak semenyusahkan mereka saat itu. Saya kemudian menawarkan bantuan: menggendong mereka sampai ke ujung. Fatur yang lebih kecil saya pangku sementara Dita yang sepertinya kakaknya, digendong. Cukup berat mengangkut mereka melewati air setinggi lutut. Saya suruh Fatur yang berusia sekitar 3 tahun untuk berhitung. Di bilangan kedua puluh (dia sempat salah hitung), keduanya saya turunkan. Mereka tiba di seberang, lalu berlari menuju rumah. Demikian pula dengan Putri, Sofi dan Nita. Usai mereka bubar, saya lari sendiri ke arah penginapan, tetap melintasi pinggiran batas ombak.

Ketika melewati lagi lapangan bola, ada sebuah pertandingan kecil tepat di tepian pantai. Para remaja bercelana jins yang punya acara. Saya pun minta izin bergabung, dan disetujui. Maka sisa sore itu saya lalui bersama tawa, lambungan bola sepak, cipratan air laut, hamburan pasir. Pertandingan berakhir. Sore masih tersisa. Pandangan saya lempar ke lautan jauh. Di sebuah titik, perlahan bara api kilang tiaka mulai tampak. Tapi yang paling membuat saya terpaku saat itu adalah paduan warna langit dan air laut yang saling berhadapan dan melengkapi. Sulit untuk memamerkannya kepada Anda, karena saya tak paham nama warna yang spesifik, dan sengaja tak membawa kamera. Yang jelas, saat itu laut berwarna pink. Atau ungu muda. Atau gabungan keduanya. Langit yang tampak di atas garis cakrawala berwarna gradasi tak kalah cantik. Semburat matahari yang jingga pucat, berganti menjadi biru di bagian atas. Saya menyesal tidak sempat berenang di tepian dermaga dekat penginapan sore itu.

Keindahan alam Morowali Utara itu akan lebih sempurna jika habitat burung maleo yang tak jauh dari sana, tetap terjaga. Dalam tugas liputan itu, sayangnya saya menemukan sebuah ancaman.

Burung Maleo

Kapal laut bermotor tunggal itu semula harus melewati rimbunan pohon nipah. Di antara pepohonan serupa kelapa itu saya melaju pelan. Tim liputan Metro TV, perwakilan perusahaan dan peneliti dari Universitas Tompotika meluncur di atas permukaan air yang dasarnya jelas terlihat. Tak lama kemudian, si pohon bertulang daun sejajar itu berhenti mengepung. Kami melaju di sungai yang lebar. Mesin dinyalakan, laju perahu dipercepat.

Sekitar satu jam kemudian ujung perahu menancap ke pasir tepian pantai cagar alam Morowali Utara. Sebuah papan nama menyambut kami. Di sana tertulis pula sepetik pasal tentang larangan merusak ekosistem lingkungan dan mengganggu satwa di dalamnya. Peringatan itu perlu dipampang karena di sini hidup spesies burung yang cuma ada di pulau Sulawesi: burung maleo.

Kami langsung bergegas menuju sebuah semak. Tempat itu sempurna jadi persembunyian. Kamera terpasang, lensa memanjang. Edy Pras, Yudhi dan Roby bergantian membidik melalui senjata mereka. Dua nama terakhir adalah videographer yang turut serta dalam tugas peliputan ini, sementara Edy Pras adalah kamerawan cum produser senior Metro TV. Yudhi memasang telunjuk di depan mulutnya yang mencondong. Dia ingatkan saya untuk berjalan mengendap. Ia kemudian menyerahkan kemeja hijau tuanya. Setelah kaos lengan panjang merah tertutupi, saya gabung mengintip para burung maleo.

Pagi itu setidaknya 15 pasang burung maleo keluar dari rimbunan hutan. Mereka menggali pasir, lalu masuk ke dalam cekungan. Burung maleo menggunakan pasir pantai untuk mengerami telur. Di dalam gundukan pasir, mereka hanya menyimpan satu butir telur sebesar sekitar 6 kali ukuran telur ayam. Karena itulah salah satunya, tingkat reproduksi burung maleo rendah, dan terancam punah. Telur itu lalu ditinggalkan. Dua hingga tiga bulan berikutnya, telur ini akan menetas, hingga kemudian seekor anak maleo bangkit dari tempatnya dikubur.

Namun kisah ideal itu tak selalu terwujud. Di tempat yang saya temui, ada pemangsa telur burung maleo yang mengancam kelestarian mereka: manusia. Seorang bapak menghampiri saya dan tim yang sedang beristirahat di bawah sebuah pohon. Saya dekati dia seraya kamera dalam posisi merekam. Sepaket pertanyaan terlontar.

Meski mengakui bahwa ia menjual telur-telurnya, bapak ini dinobatkan sebagai duta pelestarian burung maleo oleh perusahaan energi yang beroperasi tak jauh dari sana. Dalam sebuah video yang menampilkan semacam laporan CSR, sang pencoleng telur dikesankan sebagai penjaga sejati Tanjung Peo. Nyatanya, jauh dari demikian. Sore itu saya dan tim memantau dari sebuah menara di seberang Tanjung Peo. Sebuah perahu tertambat di dekat peteluran maleo. Matahari tenggelam. Langit membiru tua.

Kami bergegas pulang, demikian pula dengan bapak itu. Ketika ia mendahului, saya melihat di bagian depan perahu berpenumpang satu itu, ada kotak yang ditutupi baju. Nahkoda kapal saya berujar, itulah telur yang ia curi. Sang nahkoda tak bisa menyembunyikan ketidaksukaannya kepada si pencuri telur. Semua orang nampak membencinya. Berulang kali ditegur, tak berubah. Sekian kali dilaporkan, tak ada tindakan. Dalam sebuah pelamunan, saya pesimis dengan kelestarian habitat burung maleo itu. Kecuali kalau aksi jahat si pencuri telur dihentikan, dan mimpi kepala desa menjadikan Tanjung Peo tempat wisata ekologis jadi kenyataan. []






















































Rabu, 02 Desember 2015

Romer di Malam Hari

Lebih baik tersesat daripada nanya. Semboyan dari sebuah iklan itu saya terapkan ketika sendirian jalan-jalan ke Romerberg di kota Frankfurt Jerman Oktober lalu. Romer adalah kawasan pusat kota perbankan Jerman itu. Di sana banyak tempat menarik yang jadi simbol Frankfurt. Seusai meliput Festival Buku Frankfurt (FBF), saya naik kereta menuju ke sana.

Sistem kereta bawah tanah di Jerman ada dua jenis: S Bahn dan U Bahn. Perbedaan keduanya sepengamatan saya, ada di jalur yang dilalui kereta itu di bawah tanah. Jadi lokasi jalur di bawah tanahnya beda tingkat. Nah untuk ke Romer dari Fest Halle, tempat  FBF dihelat, ada pergantian jenis kereta. Sedikit membingungkan sih, terutama nyari stasium Romer yang ternyata di peta tertulis Dom/ Romer. Lalu ketika menaiki kereta yang tampak fotonya di atas itu, saya ditolong seorang ibu untuk memencet tombol yang ngebukain pintu buat saya keluar. Kirain pintunya kebuka sendiri. Hehehe
Begitu keluar halte, saya langsung muncul dari bagian samping sebuah gereja katedral besar. Baru kemudian saya tahu bahwa kata dom yang ada di nama stasiun maksudnya gereja ini. Dom itu bahasa jerman dari gereja katedral, nama gerejanya St. Bartholomaus. Jadi ternyata setelah saya baca-baca, dom tidak lagi berfungsi sebagai tempat ibadah, tapi museum. Yang dipamerkan di dalamnya adalah temuan seputar gedung yang berdiri sejak tahun 1356 itu, abad ke-14, alias 700an tahun lalu. Ckckck

Ini balai kota Frankfurt. Dulunya sampai tahun 1405, gedung ini fungsinya sebagai vila. Hingga saat ini, tempat itu jadi kantor wali kota. Ada suara merdu yang muncul dari sana, lalu saya hampiri.
Bagian dalam balai kota yang diramaikan penampilan sebuah kelompok musik. Lagu yang mereka mainkan seperti lagu-lagunya Pure Saturday
Tempat ini namanya Kunstverein, galeri yang selalu memamerkan karya seni kontemporer. Kontemporer itu maksudnya terbaru, lebih modern dari modern. Just in case kamu belum tahu. Hehe. Nah yang menghiasi pintu masuknya itu adalah karya instalasi buatan Joko Avianto. Di dalamnya juga ada sejumlah karya seni buatan artis dari Indonesia
Malam itu hujan gerimis. Kalau cerah, bakal ada tukang nasi goreng lengkap dengan gerobaknya yang khas Indonesia. Di kesempatan lain kunjungan ke Romer, saya menjumpai gerobak itu tapi nggak beli. Hehe

Berkalang gedung lain di kompleks Romer, tampak air mancur keadilan alias Fountain of Justice. Patung berbahan perunggu itu dibuat tahun 1887. Di depannya suka ada pengamen yang memainkan musik klasik atau pop akustik dengan syahdu.
Sebuah patung di pinggiran jalan menuju Romer
Sebuah foto ketika tempok berlin runtuh dipajang di jendela pertokoan
Ini bawaan saya malam itu. Kamera, tripod, koper berisi laptop dan kelengkapan liputan lain. Ribet dan berat memang.
Jalan utama yang terintegrasi dengan jalur tram begitu keluar dari gang menuju Dom. Malam itu sekitar jam 8 udah sepi. Saya sempat hampir tersesat karena keluar dari pintu yang salah. Tujuan utama saya malam itu sebenarnya ingin lihat instalasinya Joko Avianto tadi. Katanya begitu keluar langsung kelihatan, eh kok ini malah ke jalan antah-berantah. Hehe

Mural mewarnai dinding menuju pintu masuk kereta bawah tanah

Suasana sepi di stasiun kereta bawah tanah

Dua orang berpacaran di stasiun. Orang Jerman cuek dengan aktivitas seperti itu. Mereka maklum jika ada sepasangan yang saling peluk atau cium, bahkan yang lagi nyuntik narkoba pun dibiarin. Iya, saya lihat sendiri itu. Gak berani foto lah tar saya ditusuk sama jarumnya itu. Hehe
Begitu jalan ke hotel, saya mampir ke sebuah tempat makan dengan menu utama ikan-ikanan. Saya beli ikan salmon dan besar sekali ikannya tapi enak. Penjualnya muslim dari timur tengah dan ketika tahu saya dari Indonesia, mereka kasih roti gratis. Hehe. Nah ini foto diambil saat saya nunggu makanan pesanan selesai dibuat. Seorang pengunjung makan ikan di samping akuarium berikan dan di depannya sebelah kiri (alias di belakang saya bagian atas) ada sebuah TV yang menayangkan ikan-ikan hias yang berenang bebas. Total sekali restoran ini menghadirkan segala hal tentang ikan.